indonesia blog

blog-indonesia.com

Pesan Ibu



Kala aku tua nanti
Ku harap kau mengerti dan bersabar
Semisal ku pecahkan piring atau menumpahkan makanan di meja
Karena pengelihatan ku tidak sempurna
Ku harap kau tak memarahi ku
Pun ketika pendengeranku makin buruk
Dan aku tak dapat mendengarkan dan tak jelas perkataan ku
Tlong jangan juluki aku “si tuli”
Tapi ulangi perkataanmu atau tuliskan di atas kertas

Ketika lutut ku melemah ku harap kau sabar menolong ku untuk berdiri
Seperti aku menolong mu saat kau kecil dan belajar berjalan

Bersabarlah denganku, ketika aku mengulang ulang perkataan ku sepeti kaset rusak
Ku harap kau tetap mendengarkan ku
Ingtkah kau kala kecil menginginkan sebuah balon..??
Kau mengulang ulang perkataan mu hingga akhirnya kau dapat apa yang kau inginkan

Juga maafkan bau ku....
Bau ku ini seperti bau orang “tua”
Ku harap aku tak membuatku jijik
Ingtkah kau ketika kau kecil.?
Aku kerap mengejarmu hanya untuk memaksa kau mandi nak....

Mengguncang Dunia Fisika dengan Al-Qur’an

Mengenang Abdus Salam, Pemenang Nobel Bidang Fisika 1979
flickr.com
Abdus Salam (kiri) ketika menerima hadiah Nobel Prize Bidang Fisika dari Raja Gustav (Swedia), 1979
Kaum muslim layak berbangga atas prestasinya. Ia telah mengguncang dunia dengan teori fisikanya. Ia juga telah mengangkat harga diri masyarakat Islam dan dunia ketiga. Meski di negerinya sendiri ditelantarkan, ia tak kecil hati. Dunia fisika terus ia geluti. Dunia sosial tak lupa ia cicipi. Ia bukanlah tipe intelektual yang tinggi hati. Kerja kerasnya berbuah. Ia berhasil menciptakan teori yang membuat orang terperangah. Penghargaan Nobel Fisika pun ia terima sebagai anugerah. Dialah muslim pertama peraih Nobel Fisika sepanjang sejarah.
Sosok fenomenal itu bernama Abdus Salam. Ia dilahirkan pada 29 Januari 1926, di Jhang, Pakistan. Ayahnya, Hazrat Mohammad Hussein, adalah seorang pegawai Dinas Pendidikan. Keluarganya dikenal alim dan saleh. Sejak kecil, Salam diajar dalam tradisi pendidikan yang kuat. Ia dikenal cerdas dan cepat mengingat. Suatu ketika, Hussein pernah bermimpi. Ia melihat Salam menaiki pohon yang sangat tinggi. Ketiga ditegur, Salam meyakinkan: “Don’t worry”. Ia terus naik sampai tak kelihatan lagi. Hal ini nampaknya menjadi tanda. Salam mempunyai kemampuan yang luar biasa.
Dan demikianlah adanya. Hampir tiap malam, ibunya membacakan doa kepada salam dan saudaranya. Suatu ketika, ia diinterupsi Salam. Salam mengatakan, ia sudah tahu dan hafal. Tak perlu baginya diulang-ulang. Akhirnya, ibunya sadar. Salam mempunyai kemampuan fenomenal. Salam dengan mudah dan tepat menghafal keseluruhan surat al-Quran.
Ia masuk sekolah dasar di Jhang dalam usia 6 tahun. Namun, sungguh mencengangkan. Ketika dites, Salam menunjukkan kecerdasan yang tak diragukan. Kepala Sekolah pun langsung menyuruhnya masuk kelas empat. Di sini, Salam tak menemukan kendala berat. Meski dicampur dengan siswa yang lebih tua darinya, ia tetap mengkilat. Atas keajaiban anak ini, Hazrat Hussein yakin, sekolah lokal tidak akan cukup menampungnya. Ayahanda Salam pun berusaha sekuat tenaga untuk mengirim Salam ke sekolah negeri yang lebih mumpuni.
Sebab itu, Salam dikirim ke Lahore, 1938. Kota ini terkenal karena mahakarya di bidang arsitektur Muslim abad pertengahan. Di sana, Salam banyak belajar dan menemukan hal baru yang tak ada di desanya. Lampu listrik adalah contohnya. Ia sangat kagum atas hal ini. Ia pun bertekad belajar giat.
Di Lahore, kembali kecerdasan Salam terdeteksi. Salam mengikuti ujian matrikulasi di Punjab University. Ia lulus dengan pujian pada 1946. Salam tercatat sebagai siswa dengan nilai teratas dalam segala mata ujian. Atas prestasinya itu, ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Cambridge University, Inggris. Pada 1949, ia memperoleh gelar MA dengan pujian tertinggi di bidang matematika dan fisika.
Semenjak itu, cendekiawan muda ini sibuk dengan penelitian awal dalam bidang Fisika Kuantum di Laboratorium Cavendish yang terkenal. Laboratorium ini telah banyak menghasilkan lusinan peraih Nobel. Di Cavendish, Salam meneliti berbagai fenomena dan proses alamiah seperti pembelahan nukleus, formasi bintang- bintang neutron, pembentukan komposisi kimiawi dan struktur dari spiral DNA, cara kerja transistor semi konduktor, laser dan sebagainya.
Pada 1950, ia memperoleh peng­hargaan Smith’s Prize dari Cambridge University atas tesisnya tentang elek­trodinamika kuantum. Tesisnya dianggap telah memberikan kontribusi besar dalam bidang fisika. Dia juga berhasil menyabet gelar PhD dalam bidang fisika teori pada saat yang sama. Tesisnya dipublikasikan pada 1951. Serta-merta, tesis itu mengangkatnya menuju belan­tara intelektual internasional. Ia pun menjadi fokus perhatian seluruh komunitas fisika dunia. Untuk itu, ia memperoleh berbagai penawaran menggiurkan di Eropa.
Namun, Salam memilih kembali ke negerinya. Ia mengajar matematika di Government College, Lahore. Setahun kemudian, ia dilantik menjadi Ketua Departemen Matematika di Punjab University. Ia bermaksud mendirikan sekolah riset bagi para ahli fisika di Pakistan. Namun, ia sadar, hal itu tak mungkin dilakukan. Tidak ada tradisi kerja dan riset pascasarjana di situ. Jurnal tak punya. Kesempatan menghadiri konferensi internasional pun tak ada. Malah, ia dituduh hendak membangun hotel berbintang lima bagi para ilmuwan di sana. Kepala institusi tempat Salam bekerja juga tak berdaya. Meski tahu bahwa Salam sudah mengerjakan sejumlah riset yang luar biasa, Kepala tersebut justru menganjurkan untuk melupakan obsesinya.
Salam bertahan di Lahore selama tiga tahun. Namun, kondisi yang tak kondusif meyakinkannya bahwa di Pakistan, saat itu, sangat tidak mendukung riset-riset fisika. Akhirnya, dengan berat hati, Salam meninggalkan Pakistan pada 1954. Ia menerima tawaran mengajar dan riset di Cambridge University. Di situ, ia menemukan kembali dunianya yang hilang. Ia kembali bergelut dan bercinta dengan fisika. Tiga tahun kemudian, tepatnya 1957, Salam dilantik sebagai Profesor Fisika Teori di Imperial College, London. Sejak itu, secara aktif, ia meretas jalan ke riset berbagai bidang fisika modern. Studi yang dilakukannya mendapat penghargaan berbagai premium internasional.
Meski hasrat intelektualnya telah tersalurkan, Salam tak tinggal diam. Kegundahan atas kondisi Pakistan dan masyarakat dunia ketiga umumnya, terus menggelayutinya. Ia pun berpikir keras untuk membantu mereka. Sebab, tak mungkin muncul penemuan penting ketika tak ada fasilitas yang mendukung. Para peneliti di sana pun tak akan berkembang. Jauh ketinggalan dengan para peneliti di Eropa dan negara maju lainnya. Ia pun bermaksud mendirikan lembaga internasional yang akan mewadahi intelektual berbakat dari dunia ketiga tanpa harus meninggalkan negerinya sendiri seperti dialami Salam.
Karena itu, Salam mendesak kolega-koleganya di Eropa dan Amerika untuk mendirikan lembaga seperti yang diimpikannya. Atas bantuan PBB, khususnya Lembaga Energi Atom Internasional, pemerintah Italia dan SIDA (Swedish Agency for International Development) didirikanlah ICPT (International Centre for Theoritical Physics) di Trieste, Italia pada 1964. Salam sendiri ditunjuk sebagai direkturnya. Pendirian ICTP itu, menurut Herwing Schopper, presiden Masyarakat Fisika Eropa, merupakan salah satu pencapaian terbesar abad ke-20.
Satu obsesinya telah tercapai. Praktis, semenjak itu ia tenggelam dalam penelitian. Secara tekun, Salam mulai mempelajari hukum dasar dari elektromagnetisme yang pertama kali ditemukan oleh Faraday dan Maxwell, lama sebelumnya. Salam menggeluti masalah interaksi tiga daya kekuatan elektromagnetik, daya lemah dan daya kuat dari nuklir. Untuk itu, Salam harus ‘membantah’ salah satu postulat fisika nuklir modern yang diterima umum tentang kekuatan dan ketidakterbaginya proton yang merupakan komponen utama dari nukleus nuklir. Hasilnya, Salam mengajukan suatu hipotesa yang berani. Menurutnya, proton (yang menyimpan kekuatan nukleus dari sebuah atom) bisa saja mengalami disintegrasi. Hanya saja, durasi peluruhan proton ini memerlukan periode waktu yang astronomis, yakni 1032 tahun.
Dari situ, Salam berhasil membuat gambaran konstruksi dari suatu teori yang menggabungkan elektromagnetisme dengan interaksi lemah dari partikel nuklir yang terkenal dengan “Grand Unification Theory”. Albert Einstein sendiri yang dikenal sebagai “Nabi” Fisika tak berhasil menciptakan teori tersebut sepanjang hidupnya. Ialah orang pertama yang memprediksi decay (peluruhan) dalam rangkaian interaksi nuklir lemah. Muncullah istilah baru yaitu ‘Electroweak’ (lemah elektro) dalam dunia fisika nuklir. Atas penemuan besar ini, Salam berhak atas Nobel Fisika pada 1979.
Konon, penemuan grand unification theory itu terinspirasi dari keyakinan Salam bahwa segala sesuatu terpancar dari satu sumber, yakni Tuhan. Maklum, Salam adalah agamawan taat. Dalam tiap kesempatan, ia selalu berujar, al Qur’an telah menyediakan segala-galanya untuk eksplorasi alam. ‘’Al Quran membimbing kita dalam memahami seluruh hukum alam ciptaan Allah,’’ tulisnya. Karena itu, pada saat penghargaan Nobel, Salam mentilawahkan beberapa ayat dari al-Quran dalam pidatonya di aula Nobel Hall. Inilah pertama kalinya dalam sejarah, di aula itu, diperdengarkan ayat-ayat al-Quran.
Sebelum meraih Nobel, berbagai penghargaan telah disabet Salam atas prestasi fisikanya. Pada 1971, secara aklamasi, ia terpilih sebagai anggota dari USSR Academy of Science. Pada tahun yang sama, ia juga berhak atas hadiah Premium Robert Oppenheimer. Ia juga berhasil merebut medali Einstein (UNESCO, Paris) dan Birla Premium (India).
Berbagai penghargaan itu terasa wajar karena prestasi Salam yang sangat luar biasa. Namun, Nobel tak menghentikannya untuk terus berkiprah. Pada 1983, ia memperoleh penghargaan Lomonosov Gold Medal yang merupakan penghargaan tertinggi dari USSR Academy of Science. Pada tahun itu juga, Salam mendirikan dan menjadi presiden The Third World Academy of Sciences, dan presiden pertama The Third World Network of Scientific Organizations (1988).
Sebagai wujud kepedulian atas carut marut kondisi dunia, Profesor Abdus Salam turut mengambil bagian dalam sebuah konferensi internasional di Moskow mengenai pengurangan senjata nuklir pada 1987. Di konferensi itu, secara tegas, ia mendukung larangan penggunaan senjata pemusnah massal. Ia selalu menghimbau komunitas dunia agar memanfaatkan potensi studi tenaga nuklir hanya untuk tujuan damai dan konstruktif saja.
Berbagai pujian dan penghargaan terus mengucur. Tahun 1992, rektor dari St Petersburg University secara khusus berkunjung ke Trieste, Italia, untuk menyampaikan Diploma Honorer Doctor of Science dari universitas tersebut kepada Profesor Salam. Di tahun 1995, setahun sebelum meninggal, ia mendapat penghargaan Maxwell di Inggris serta medali emas yang diberikan oleh Akademi Pekerja Kreatif Rusia.
Semasa hidupnya, Abdus Salam telah menghasilkan banyak karya. Salam telah menulis berpuluh-puluh buku dan monograf ilmiah. Ia juga menulis lebih dari tiga ratus artikel mengenai problema paling kompleks dari fisika nuklir serta permasalahan aktual mengenai persiapan ilmuwan muda di negara-negara berkembang. Atas dedikasinya, ia ditunjuk sebagai anggota dari sekitar 50 lembaga ilmiah akademisi, di samping beberapa asosiasi ilmiah dunia. Ia mendapat 20 penghargaan internasional dan medali emas di bidang fisika. Termasuk Nobel Prize itu sendiri. Sedikit sekali ahli fisika di abad duapuluh yang pernah menerima penghargaan dan pengakuan dunia sebagaimana Salam. Di antaranya adalah Albert Einstein, Ernest Rutherford dan Niles Bore.
Salam meninggal pada 20 November 1996 di Oxford, Inggris di usia 70 tahun. Ia dimakamkan di tanah air yang teramat dicintanya. Atas prestasinya, dunia pantas merugi. Sebab, Abdus Salam hanya hidup sekali. Pretasi Salam memang layak dibanggakan. Ia telah mendedikasikan dirinya untuk fisika dan kemanusiaan. Rasanya, semua penghargaan layak diterimanya. Ia berhasil mengangkat prestasi kaum muslim yang lama tenggelam. (M. Khoirul Muqtafa)

Menentukan Arah Pendidikan Nasional

Judul buku : 10 Windu HAR Tilaar, Pendidikan Nasional : Arah Kemana? | Penyunting : Sutjipto | Penerbit : Kompas | Tahun : Pertama, 2012 | Tebal : 318 halaman
Banyak tokoh yang konsen tentang masalah pendidikan di negeri ini. Salah satu diantaranya adalah HAR Tilaar. Untuk menghormatinya, beberapa tokoh yang bersimpati padanya menulis artikel dalam rangka ulang tahun dasawindunya. Mereka mengupas situasi pendidikan yang saat ini belum menemukan titik arah yang jelas.
Ada 26 artikel dalam buku ini dimana tulisan-tulisan tersebut dibagi dalam dibagi dalam  dua kelompok, yaitu tentang hidup dan pemikiran Tilaar yang banyak didedikasikan untuk pendidikan dan persoalan-persoalan pendidikan yang ditelaah dari berbagai perspektif.
Ada beberapa penulis yang berpandangan negatif tentang arah pendidikan nasional. Bagi mereka pendidikan di negeri ini tak akan mungkin bisa bergerak ke arah yang lebih baik, karena arah pendidikan nasional dibentuk oleh kepentingan politik bukan kepentingan dunia pendidikan. Di sisi lain ada juga pandangan yang optimistis tentang masa depan pendidikan Indonesia. Mereka mengkritik dan memberikan solusi yang kuntruktif.
Untuk bagian perjalanan hidup dan pemikiran Tilaar. Darmaningtyas satu-satunya penulis dalam buku ini yang memberi data yang paling lengkap, sebagai hasil diskusi dirinya dengan Tilaar dan pembacaan terhadap buku Tilaar yang ditulis sekitar tahun 1970-an. Bagi Damaningtyas ada perbedaan arah pemikiran pada diri Tilaar, yang dimulai dari konservatif, kontruktif dan kemudian menjadi kritis. (Hal. 38)
Semua pola pemikiran kritisnya itu sebagai hasil pembelajaran Tilaar dari buku-buku yang ditulis oleh tokoh pendidikan kritis, seperti Paulo Freire, Henry Giroux, Everett Reimer, Ki Hadjar Dewantara, dan YB Mangunwijaya. Hal itu dapat diketahui dari banyaknya kutipan-kutipan Tilaar yang diambil dari tokoh-tokoh tersebut.
Dalam pandangan Tilaar pendidikan itu bukan hanya persoalan menejerial tetapi harus menyentuh hal yang paling mendasar. Ia memandang pendidikan itu adalah hak asasi yang mutlak harus diperoleh manusia. Menurut Tilaar, Indonesia sudah punya landasan yang kuat dan jelas untuk penentuan arah pendidikan yaitu yang terkandung dalam amanat UUD 1945, yakni negara bertanggung jawa untuk mencerdaskan bangsa. (Hal. 38-58)
Tilaar juga melihat pendidikan sebagai objek yang multiperspektif. Gambaran tersebut dapat dibaca dari tulisan-tulisan penulis lain. Seperti, Riant Nugroho yang mengulas sisi pendidikan entreprenership yang jarang dibahas orang. Azyumadi Azra yang menyoroti sisi pendidikan multikultural yang sering di singgung Tilaar.
Hasil pemikiran kritis Tilaar bisa dianggap sebagai bentuk kepeduliannya untuk memajukan dan memberi arah yang benar pada pendidikan nasional. Tilaar bisa menjadi contoh yang harus ditiru oleh para pendidik untuk menuangkan ide kreatif dan kritik yang membangun untuk kemajuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional tak akan berubah menjadi lebih baik jika para pendidik dan cendikia hanya berdiam diri dan pasrah dengan keadaan.
* Peresensi: T. Saifullah, peneliti di Farabi Institute Semarang

Pedoman Umum Penerapan 5R di Tempat Kerja


Dalam prinsip Kaizen, standarisasi tempat kerja dikenal dengan istilah 5R (atau aslinya dikenal juga dgn istilah 5S) yang meliputi Ringkas (dalam bahasa Jepang disebut Seiri)Rapih (Seiton), Resik (Seiso), Rawat (Seiketsu), dan Rajin (Shitsuke). Melalui prinsip 5R ini, jika setiap diri kita dapat menerapkannya maka dapat dibayangkan bagaimana kualitas dari sebuah tempat kerja.
5R
Bagaimana tempat Anda duduk saat ini? Sudahkah Ringkas? Rapih? Resik? TeRawat? Apakah Anda sudah Rajin? Kalau belum, mungkin selama ini Anda belum mau atau tidak mau menyisihkan waktu untuk melakukannya? Atau jangan-jangan Anda merasa ini membuang waktu? Jawabannya adalah tidak. Sejatinya, yang terjadi adalah sebaliknya, Anda membuang waktu jauh lebih banyak bila tempat kerja Anda tidak dalam standar 5 R. Selamat mencoba!
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. anak kampung blog - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger