Mengenang Abdus Salam, Pemenang Nobel Bidang Fisika 1979        
 
 
    
            
                    Abdus Salam (kiri) ketika menerima hadiah Nobel Prize Bidang Fisika dari Raja Gustav (Swedia), 1979        
 
 
Kaum muslim layak berbangga atas prestasinya. Ia telah mengguncang 
dunia dengan teori fisikanya. Ia juga telah mengangkat harga diri 
masyarakat Islam dan dunia ketiga. Meski di negerinya sendiri 
ditelantarkan, ia tak kecil hati. Dunia fisika terus ia geluti. Dunia 
sosial tak lupa ia cicipi. Ia bukanlah tipe intelektual yang tinggi 
hati. Kerja kerasnya berbuah. Ia berhasil menciptakan teori yang membuat
 orang terperangah. Penghargaan Nobel Fisika pun ia terima sebagai 
anugerah. Dialah muslim pertama peraih Nobel Fisika sepanjang sejarah.
Sosok fenomenal itu bernama Abdus Salam. Ia dilahirkan pada 29 
Januari 1926, di Jhang, Pakistan. Ayahnya, Hazrat Mohammad Hussein, 
adalah seorang pegawai Dinas Pendidikan. Keluarganya dikenal alim dan 
saleh. Sejak kecil, Salam diajar dalam tradisi pendidikan yang kuat. Ia 
dikenal cerdas dan cepat mengingat. Suatu ketika, Hussein pernah 
bermimpi. Ia melihat Salam menaiki pohon yang sangat tinggi. Ketiga 
ditegur, Salam meyakinkan: “Don’t worry”. Ia terus naik sampai tak 
kelihatan lagi. Hal ini nampaknya menjadi tanda. Salam mempunyai 
kemampuan yang luar biasa.
Dan demikianlah adanya. Hampir tiap malam, ibunya membacakan doa 
kepada salam dan saudaranya. Suatu ketika, ia diinterupsi Salam. Salam 
mengatakan, ia sudah tahu dan hafal. Tak perlu baginya diulang-ulang. 
Akhirnya, ibunya sadar. Salam mempunyai kemampuan fenomenal. Salam 
dengan mudah dan tepat menghafal keseluruhan surat al-Quran.
Ia masuk sekolah dasar di Jhang dalam usia 6 tahun. Namun, sungguh 
mencengangkan. Ketika dites, Salam menunjukkan kecerdasan yang tak 
diragukan. Kepala Sekolah pun langsung menyuruhnya masuk kelas empat. Di
 sini, Salam tak menemukan kendala berat. Meski dicampur dengan siswa 
yang lebih tua darinya, ia tetap mengkilat. Atas keajaiban anak ini, 
Hazrat Hussein yakin, sekolah lokal tidak akan cukup menampungnya. 
Ayahanda Salam pun berusaha sekuat tenaga untuk mengirim Salam ke 
sekolah negeri yang lebih mumpuni.
Sebab itu, Salam dikirim ke Lahore, 1938. Kota ini terkenal karena 
mahakarya di bidang arsitektur Muslim abad pertengahan. Di sana, Salam 
banyak belajar dan menemukan hal baru yang tak ada di desanya. Lampu 
listrik adalah contohnya. Ia sangat kagum atas hal ini. Ia pun bertekad 
belajar giat.
Di Lahore, kembali kecerdasan Salam terdeteksi. Salam mengikuti ujian
 matrikulasi di Punjab University. Ia lulus dengan pujian pada 1946. 
Salam tercatat sebagai siswa dengan nilai teratas dalam segala mata 
ujian. Atas prestasinya itu, ia memperoleh beasiswa untuk melanjutkan 
pendidikan ke Cambridge University, Inggris. Pada 1949, ia memperoleh 
gelar MA dengan pujian tertinggi di bidang matematika dan fisika.
Semenjak itu, cendekiawan muda ini sibuk dengan penelitian awal dalam
 bidang Fisika Kuantum di Laboratorium Cavendish yang terkenal. 
Laboratorium ini telah banyak menghasilkan lusinan peraih Nobel. Di 
Cavendish, Salam meneliti berbagai fenomena dan proses alamiah seperti 
pembelahan nukleus, formasi bintang- bintang neutron, pembentukan 
komposisi kimiawi dan struktur dari spiral DNA, cara kerja transistor 
semi konduktor, laser dan sebagainya.
Pada 1950, ia memperoleh penghargaan Smith’s Prize dari Cambridge 
University atas tesisnya tentang elektrodinamika kuantum. Tesisnya 
dianggap telah memberikan kontribusi besar dalam bidang fisika. Dia juga
 berhasil menyabet gelar PhD dalam bidang fisika teori pada saat yang 
sama. Tesisnya dipublikasikan pada 1951. Serta-merta, tesis itu 
mengangkatnya menuju belantara intelektual internasional. Ia pun 
menjadi fokus perhatian seluruh komunitas fisika dunia. Untuk itu, ia 
memperoleh berbagai penawaran menggiurkan di Eropa.
Namun, Salam memilih kembali ke negerinya. Ia mengajar matematika di 
Government College, Lahore. Setahun kemudian, ia dilantik menjadi Ketua 
Departemen Matematika di Punjab University. Ia bermaksud mendirikan 
sekolah riset bagi para ahli fisika di Pakistan. Namun, ia sadar, hal 
itu tak mungkin dilakukan. Tidak ada tradisi kerja dan riset 
pascasarjana di situ. Jurnal tak punya. Kesempatan menghadiri konferensi
 internasional pun tak ada. Malah, ia dituduh hendak membangun hotel 
berbintang lima bagi para ilmuwan di sana. Kepala institusi tempat Salam
 bekerja juga tak berdaya. Meski tahu bahwa Salam sudah mengerjakan 
sejumlah riset yang luar biasa, Kepala tersebut justru menganjurkan 
untuk melupakan obsesinya.
Salam bertahan di Lahore selama tiga tahun. Namun, kondisi yang tak 
kondusif meyakinkannya bahwa di Pakistan, saat itu, sangat tidak 
mendukung riset-riset fisika. Akhirnya, dengan berat hati, Salam 
meninggalkan Pakistan pada 1954. Ia menerima tawaran mengajar dan riset 
di Cambridge University. Di situ, ia menemukan kembali dunianya yang 
hilang. Ia kembali bergelut dan bercinta dengan fisika. Tiga tahun 
kemudian, tepatnya 1957, Salam dilantik sebagai Profesor Fisika Teori di
 Imperial College, London. Sejak itu, secara aktif, ia meretas jalan ke 
riset berbagai bidang fisika modern. Studi yang dilakukannya mendapat 
penghargaan berbagai premium internasional.
Meski hasrat intelektualnya telah tersalurkan, Salam tak tinggal 
diam. Kegundahan atas kondisi Pakistan dan masyarakat dunia ketiga 
umumnya, terus menggelayutinya. Ia pun berpikir keras untuk membantu 
mereka. Sebab, tak mungkin muncul penemuan penting ketika tak ada 
fasilitas yang mendukung. Para peneliti di sana pun tak akan berkembang.
 Jauh ketinggalan dengan para peneliti di Eropa dan negara maju lainnya.
 Ia pun bermaksud mendirikan lembaga internasional yang akan mewadahi 
intelektual berbakat dari dunia ketiga tanpa harus meninggalkan 
negerinya sendiri seperti dialami Salam.
Karena itu, Salam mendesak kolega-koleganya di Eropa dan Amerika 
untuk mendirikan lembaga seperti yang diimpikannya. Atas bantuan PBB, 
khususnya Lembaga Energi Atom Internasional, pemerintah Italia dan SIDA 
(Swedish Agency for International Development) didirikanlah ICPT 
(International Centre for Theoritical Physics) di Trieste, Italia pada 
1964. Salam sendiri ditunjuk sebagai direkturnya. Pendirian ICTP itu, 
menurut Herwing Schopper, presiden Masyarakat Fisika Eropa, merupakan 
salah satu pencapaian terbesar abad ke-20.
Satu obsesinya telah tercapai. Praktis, semenjak itu ia tenggelam 
dalam penelitian. Secara tekun, Salam mulai mempelajari hukum dasar dari
 elektromagnetisme yang pertama kali ditemukan oleh Faraday dan Maxwell,
 lama sebelumnya. Salam menggeluti masalah interaksi tiga daya kekuatan 
elektromagnetik, daya lemah dan daya kuat dari nuklir. Untuk itu, Salam 
harus ‘membantah’ salah satu postulat fisika nuklir modern yang diterima
 umum tentang kekuatan dan ketidakterbaginya proton yang merupakan 
komponen utama dari nukleus nuklir. Hasilnya, Salam mengajukan suatu 
hipotesa yang berani. Menurutnya, proton (yang menyimpan kekuatan 
nukleus dari sebuah atom) bisa saja mengalami disintegrasi. Hanya saja, 
durasi peluruhan proton ini memerlukan periode waktu yang astronomis, 
yakni 1032 tahun.
Dari situ, Salam berhasil membuat gambaran konstruksi dari suatu 
teori yang menggabungkan elektromagnetisme dengan interaksi lemah dari 
partikel nuklir yang terkenal dengan “Grand Unification Theory”. Albert 
Einstein sendiri yang dikenal sebagai “Nabi” Fisika tak berhasil 
menciptakan teori tersebut sepanjang hidupnya. Ialah orang pertama yang 
memprediksi decay (peluruhan) dalam rangkaian interaksi nuklir lemah. 
Muncullah istilah baru yaitu ‘Electroweak’ (lemah elektro) dalam dunia 
fisika nuklir. Atas penemuan besar ini, Salam berhak atas Nobel Fisika 
pada 1979.
Konon, penemuan grand unification theory itu terinspirasi dari 
keyakinan Salam bahwa segala sesuatu terpancar dari satu sumber, yakni 
Tuhan. Maklum, Salam adalah agamawan taat. Dalam tiap kesempatan, ia 
selalu berujar, al Qur’an telah menyediakan segala-galanya untuk 
eksplorasi alam. ‘’Al Quran membimbing kita dalam memahami seluruh hukum
 alam ciptaan Allah,’’ tulisnya. Karena itu, pada saat penghargaan 
Nobel, Salam mentilawahkan beberapa ayat dari al-Quran dalam pidatonya 
di aula Nobel Hall. Inilah pertama kalinya dalam sejarah, di aula itu, 
diperdengarkan ayat-ayat al-Quran.
Sebelum meraih Nobel, berbagai penghargaan telah disabet Salam atas 
prestasi fisikanya. Pada 1971, secara aklamasi, ia terpilih sebagai 
anggota dari USSR Academy of Science. Pada tahun yang sama, ia juga 
berhak atas hadiah Premium Robert Oppenheimer. Ia juga berhasil merebut 
medali Einstein (UNESCO, Paris) dan Birla Premium (India).
Berbagai penghargaan itu terasa wajar karena prestasi Salam yang 
sangat luar biasa. Namun, Nobel tak menghentikannya untuk terus 
berkiprah. Pada 1983, ia memperoleh penghargaan Lomonosov Gold Medal 
yang merupakan penghargaan tertinggi dari USSR Academy of Science. Pada 
tahun itu juga, Salam mendirikan dan menjadi presiden The Third World 
Academy of Sciences, dan presiden pertama The Third World Network of 
Scientific Organizations (1988).
Sebagai wujud kepedulian atas carut marut kondisi dunia, Profesor 
Abdus Salam turut mengambil bagian dalam sebuah konferensi internasional
 di Moskow mengenai pengurangan senjata nuklir pada 1987. Di konferensi 
itu, secara tegas, ia mendukung larangan penggunaan senjata pemusnah 
massal. Ia selalu menghimbau komunitas dunia agar memanfaatkan potensi 
studi tenaga nuklir hanya untuk tujuan damai dan konstruktif saja.
Berbagai pujian dan penghargaan terus mengucur. Tahun 1992, rektor 
dari St Petersburg University secara khusus berkunjung ke Trieste, 
Italia, untuk menyampaikan Diploma Honorer Doctor of Science dari 
universitas tersebut kepada Profesor Salam. Di tahun 1995, setahun 
sebelum meninggal, ia mendapat penghargaan Maxwell di Inggris serta 
medali emas yang diberikan oleh Akademi Pekerja Kreatif Rusia.
Semasa hidupnya, Abdus Salam telah menghasilkan banyak karya. Salam 
telah menulis berpuluh-puluh buku dan monograf ilmiah. Ia juga menulis 
lebih dari tiga ratus artikel mengenai problema paling kompleks dari 
fisika nuklir serta permasalahan aktual mengenai persiapan ilmuwan muda 
di negara-negara berkembang. Atas dedikasinya, ia ditunjuk sebagai 
anggota dari sekitar 50 lembaga ilmiah akademisi, di samping beberapa 
asosiasi ilmiah dunia. Ia mendapat 20 penghargaan internasional dan 
medali emas di bidang fisika. Termasuk Nobel Prize itu sendiri. Sedikit 
sekali ahli fisika di abad duapuluh yang pernah menerima penghargaan dan
 pengakuan dunia sebagaimana Salam. Di antaranya adalah Albert Einstein,
 Ernest Rutherford dan Niles Bore.
Salam meninggal pada 20 November 1996 di Oxford, Inggris di usia 70 
tahun. Ia dimakamkan di tanah air yang teramat dicintanya. Atas 
prestasinya, dunia pantas merugi. Sebab, Abdus Salam hanya hidup sekali.
 Pretasi Salam memang layak dibanggakan. Ia telah mendedikasikan dirinya
 untuk fisika dan kemanusiaan. Rasanya, semua penghargaan layak 
diterimanya. Ia berhasil mengangkat prestasi kaum muslim yang lama 
tenggelam. (M. Khoirul Muqtafa)